Biografi Singkat Profil Habib Novel bin Muhammad al ‘Aydrus
Belakangan,
habib muda kelahiran Solo, 27 Juli 1975, ini mengubah haluan dakwahnya. Dari
yang semula berada di zona “aman”, mengisi ta’lim di berbagai masjid dan
majelis secara rutin, berkumpul dalam satu komunitas tertentu dengan habaib dan
kiai, kini ia harus berpindah-pindah dan keliling dari satu tempat ke tempat
lain, dari satu kota ke kota lainnya. Khususnya daerah yang sebagian besar
penduduknya belum tersentuh pemahaman agama secara baik. Praktis, keberadaannya
jarang terlihat di permukaan.
Ini dilakukannya bukan tanpa
alasan. Dewasa ini berbagai penyimpangan dalam aliran Islam semakin marak di
Indonesia, wa bil khusus di
Solo. Tentu kita masih ingat kasus bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil
Sepenuh (GBIS), Kepunton, Solo, Jawa Tengah, beberapa waktu silam, yang diklaim
sementara orang sebagai aksi jihad.
Menurutnya,
tragedi memilukan itu tak perlu terjadi, bukan hanya di Solo, namun juga di
Indonesia, dan belahan bumi mana pun, bila tidak ada pembiaran terhadap
berbagai aliran ekstrem. Inilah peran pemuka agama untuk membentengi aqidah
umat.
Karena
Hidayah Allah
Seolah mendapat ilham dari Allah SWT, mulai saat ini hingga beberapa waktu ke
depan, ia akan lebih gencar membendung paham Wahabi, sebuah paham yang kerap
menjadi embrio dalam pemahaman kelompok-kelompok umat yang ekstrem. Bukan
dengan cara membumihanguskan paham tersebut, melainkan membentengi aqidah umat
dari berbagai aliran yang menyimpang dari doktrin Ahlussunnah wal Jamaa’ah.
Sebab, menurutnya, Wahabi itu sesungguhnya kecil, umatlah yang membesarkannya
dengan menjadi pengikutnya.
Masih
menurut Habib Noval, umat Islam yang berpaham Wahabi itu tidak akan bisa
berubah dengan berbagai mau’izhah dan dialog. Mereka hanya akan berubah dengan
hidayah Allah. Dialog, sehebat apa pun dan segencar apa pun, tidak efektif bila
hidayah Allah belum bermain. Masalahnya, keduanya, baik Ahlussunnah maupun Wahabi,
sama-sama menggunakan dalil dan hadits yang hampir sama, hanya pemahamannya
yang berbeda. “Seribu ulama Wahabi dan seribu ulama Ahlusunnah, bila beradu
ilmu, masing-masing tidak akan menemukan titik temu. Umumnya, seseorang yang
keluar dari Wahabi bukan karena ilmu, namun hidayah dari Allah SWT,” kata habib
berusia 36 tahun ini.
Ada salah
satu kisah menarik di Jawa Timur. Seorang pemuda Wahabi meyakini bahwa pahala
mengirim hadiah surah Al-Fatihah kepada orang yang telah meninggal tidak sampai
kepadanya, dan dia berdebat habis-habisan dengan koleganya yang seorang
Ahlusunnah wal Jama’ah.
Tiba-tiba
datang salah seorang habib, dan diadukanlah perkara tersebut.
Menariknya,
dengan ringan sang habib hanya menjawab, “Insya Allah sampai, buktikan saja
sendiri.”
Malam
harinya, pemuda Wahabi tersebut merasa penasaran dan ia pun ingin membuktikan
saran sang habib, mengirim hadiah surah Al-Fatihah khusus untuk ayahnya, yang
telah lama menghadap-Nya.
Ketika tidur di malam itu juga,
ia bermimpi bertemu sang ayah. Bahkan dalam mimpinya itu ayahnya berkata,
“Kenapa tidak dari dahulu kamu mengirimkan hadiah ini untuk ayah, Nak?”
Kontan saja ketika terbangun di pagi harinya ia merasa begitu trenyuh. Bahkan
ia menjadi mempercayai mimpinya tersebut.
Tidak lama
kemudian, ia mengisahkan mimpinya itu kepada teman debatnya. Sejak saat itu, ia
pun menyakini dan selalu mengatakan kepada khalayak bahwa hadiah Al-Fatihah
untuk orang yang telah meninggal itu sampai.
Artinya,
perpindahan aqidah itu bukan karena ilmu, melainkan hidayah dari Allah SWT.
Mungkin, seseorang yang baru mulai memasuki ajaran Wahabi masih bisa
dipengaruhi dan diberi pemahaman untuk kembali. Tapi bagi yang sudah menjadi
Wahabi sangat sulit. Menurut Habib Noval, mengutip perkataan Habib Ali
Al-Habsyi, orang yang telah terkena penyakit Wahabi, susah sembuhnya.
Tegas sedari
Awal
Sepertinya, sungguh tepat bila suami Syarifah Fathimah Qonita binti Ali
Al-Habsyi, yang masih terhitung cucu Habib Anis Al-Habsyi, ini memutuskan untuk
terjun ke lingkungan bawah yang selama ini awam wawasan keberagamaannya.
Bukankah mencegah itu jauh lebih baik daripada mengobati?
Sebetulnya
dakwah membendung paham Wahabi telah dilakukannya sejak beberapa tahun silam,
semasa Habib Anis bin Alwi Al-Habsyi, guru sekaligus kakek mertuanya, masih
hidup. Habib Noval merasa beruntung belajar langsung dengan habib kharismatis
itu.
Sejak kecil,
sepulang sekolah, mulai dari SD hingga SMA, ia, yang kini telah dianugerahi dua
orang anak, selalu aktif di berbagai kegiatan di Masjid Ar-Riyadh, Solo. Yakni
shalat berjama’ah, tadarus Al-Qur’an, membacaan ratib, sampai mengikuti
pengajian umum secara rutin, mulai dari tema sejarah nabi atau hadits, nahwu dan
fiqih, tasawuf, hingga tafsir Al-Qur’an.
Pengembaraan
pencarian ilmunya pernah mengantarkannya hingga nyantri di Pondok Pesantren
Darul Lughah wad Da’wah, Pasuruan, Jawa Timur, yang kala itu diasuh oleh
almarhum Ustadz Hasan Baharun. Namun, sang bunda tampak berat berpisah, ia pun
akhirnya hanya sempat belajar di sana selama satu semester plus masa percobaan
satu bulan. Jadi kurang lebih selama tujuh bulan.
Meski
begitu, waktu yang sangat singkat ini dirasakannya sangat berarti. Sebab hanya
dalam kurun waktu tujuh bulan, ia telah dapat berbahasa Arab relatif baik. Ini
memang menjadi motivasinya. Pasalnya, ia selalu teringat dengan pesan sang
kakek, almarhum Habib Ahmad bin Abdurrahman Alaydrus, bahwa, “Jika kamu mampu
menguasai bahasa Arab, kamu telah menguasai setengah ilmu.”
Setelah
mendapat restu sang guru, Ustadz Hasan, di tahun 1995, Habib Noval kembali ke
kampung halamannya. Sambil terus belajar kepada Habib Anis dan beberapa habib
dan kiai lainnya, ia juga mulai berdakwah.
Masa-masa
awal itu ia tidak terjun langsung membina umat yang rentan menjadi basis
sasaran Wahabi, namun tetap menyuarakan bahayanya aliran Wahabi dan Syi’ah.
“Saya sudah berani tegas sejak pertama kali berdakwah. Masa itu Habib Anis
masih ada. Dalam khutbah Jum’at misalnya, saya sangat tegas menentang Syi’ah
dan Wahabi, namun bahasannya tetap santun dan ilmiah. Dikenal galak, karena
berani menyuarakan yang hak dan bathil,” tutur Habib Noval.
Bila
dipersentasekan, keberadaan kalangan awam itu jumlahnya sangat besar. Selama
ini mereka kebanyakan beragama hanya ikut-ikutan. Namun mereka amat mendambakan
kebaikan, sehingga mereka pun taat mengikuti berbagai ritus ibadah. Tidak hanya
yang yang wajib, namun juga yang sunnah, seperti shalawatan, tahlilan,
Maulidan, dan sebagainnya. Pada gilirannya, sikap taqlid mereka itu disalahgunakan
oleh sekelompok tertentu untuk menebar ajakan agar meninggalkan ajaran
Ahlusunnah wal Jama’ah.
Strategi para penebar ajaran itu
semakin agresif. Mereka begitu keras menuduh pengamal ritus tersebut sebagai
perilaku bid’ah dan
sesat, dan para pelakunya kelak akan berada di neraka. Tuduhan itu dilontarkan
langsung di hadapan umat. Bukan lagi hanya melalui buku-buku. Terkadang, mereka
juga menyebarkannya lewat SMS. Segala cara ini mudah saja mereka lakukan,
mengingat dukungan dana yang begitu besar.
Meluruskan Stigma Negatif Bid’ah
Mengenai bid’ah, kata Habib
Noval, bid’ah itu
sendiri terbagi menjadi dua: bid’ah hasanah
dan bid’ah dhalalah.
Sayangnya selama ini kata bid’ah sudah
begitu melekat dengan stigma negatif, yang setiap pelakunya itu ahli neraka.
Mereka berhasil menempatkan kata bid’ah sebagi
sesuatu yang buruk. “Maka saya harus berjuang merebut kembali istilah bid’ah agar tidak
dikonotasikan negatif,” kata Habib Noval semangat.
Menurutnya,
Syaikh Alwi Al-Maliki, yang berada di Arab Saudi, sarang Wahabi, saja tidak
berdiam diri. Ia melakukan perlawanan dengan berbagai cara, baik lisan ketika
berdakwah maupun tulisan dalam berbagai kitab dan bukunya. Apalagi muslim Sunni
Indonesia, yang mayoritas. “Saya terpanggil, mulai saat ini harus lebih fokus
memberantas paham Wahabi, terutama di Solo,” katanya kembali menegaskan.
Menyusul kesuksesan buku
terdahulunya, Mana
Dalilnya, yang juga ditujukan untuk menolak paham Wahabi, baru-baru
ini Habib Noval meluncurkan buku terbarunya berjudul Ahlul Bid’ah Hasanah.
Sekilas buku ini memiliki
kemiripan dengan buku sebelumnya. Namun menurut Habib Noval, buku ini memiliki
perbedaan yang sangat signifikan. Sesuai namanya, isi buku yang dibandrol
seharga empat puluh lima ribu rupiah ini mengupas dalil dan sumber berbagai
amaliah Ahlusunnah wal Jama’ah yang selama ini diklaim sebagaibid’ah dan sesat, serta
mencantumkan pendapat para ulama yang kuat. Lebih praktis dan tegas. “Pada
buku Mana Dalilnya, saya
menggunakan kerangka berpikir Wahabi. Sementara buku ini kerangka berpikirnya
tengah-tengah: Wahabi dan kaum santri,” katanya.
Aqidah umat mesti diperkuat, agar
tidak mudah goyah. Salah satunya dengan membaca buku Ahlul Bid’ah Hasanah.
Tampaknya, buku ini akan kembali
mendulang sukses seperti buku-buku karya Habib Noval sebelumnya.
Saat ini, bila ada yang mempengaruhi dan menuduh dengan berbagai label negatif
terkait dengan Ya-Sinan, tahlilan, shalawatan, misalnya, umat tidak hanya diam,
apalagi terpengaruh, mereka mulai berani membantah, dengan mengutarakan
dalil-dalil yang kerap disampaikan Habib Noval, atau minimal tidak terpengaruh.
Semangat habib muda ini dalam
membentengi aqidah umat begitu tinggi. Untuk mendukung dakwahnya, kini Habib
Noval juga merambah bisnis kaus oblong dengan berbagai gambar dan kata-kata
ciri khas Ahlusunnah wal Jama’ah yang menggugah. Ini diproduksinya sendiri
menggunakan label “Abah”, singkatan “Ahlul Bid’ahHasanah”.
“Pada produksi kaus, saya
menggunakan kata-kata yang menyentuh tapi tidak provokatif, seperti ziarah kubur, Ya-Sinan, tahlilan, Maulidan,
kemudian diarahkan dengan menggunakan tanda panah ke kata surga. Kemudian,
kalimat Lebih baik gila dzikir daripada
waras namun tidak dzikir,” kata Habib Noval.
Respons
masyarakat cukup besar. Produksi pertama pada Ramadhan lalu, sebanyak 750 telah
habis diserbu konsumen. Saat ini produksi kedua mencetak 1.500 kaus dengan dua
varian, lengan panjang dan pendek. Warnanya beragam, mulai dari putih, biru,
merah, hingga hitam.
sumber : http://pondokhabib.wordpress.com/2011/12/28/habib-noval-bin-muhammad-alaydrus-melindungi-umat-dari-virus-wahabi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar