Selasa, 27 Oktober 2015

Benci - Kebencian Atau Hati Damai?

Membiarkan larut Dalam Kebencian atau Memilih Hati yang Damai?

 
Oleh : Mohamad Yunus
 
Ketika datang seorang teman baik mencurahkan isi hatinya dan merasakan ketidakberdayaan hatinya yang diliputi perasaan marah dan kesal yang terus menerus berkecamuk melingkupi hatinya dalam beberapa minggu ini. Dia merasakah kelelahan hati dan bingung harus bersikap seperti apa, bagaimana cara mengakhiri perasaan bencinya kepada seseorang yang begitu dicintainya yang pergi meninggalkan luka dalam di hatinya.
Kebencian datang setiap saat saat melintasi pikirannya. Kondisi ini begitu mengganggunya!

Sekilas cerita diatas, mungkin saja bagai cerita klasik atau sekedar roman picisan semata.  Tetapi kenyataannya, tidaklah demikian, kisah seperti ini atau perasaan benci mungkin pernah kita temui atau bahkan kita alami yang menghiasi kehidupan perjalanan kita baik di kantor, di rumah, dan dimanapun.  Perasaan kesal, marah, benci, atau bahkan dendam kepada apa, kepada siapa, dimana, kapan, dan dalam situasi apa perasaan-perasaan pernah kita rasakan. Orang lain itulah seringkali menjadi peran utama dalam munculnya perasaan-perasaan tersebut. Begitu hebatnya sang pemeran utama, sampai bisa dibawa terus oleh memori dalam pikiran kita bahkan sampai sekian tahun lamanya. Begitu hebatnya sang pemeran utama membuat tercabik-cabiknya hati begitu rupa hingga membuat goresan-goresan hati yang perih bila disentuh oleh ingatan.

Pertanyaannya adalah seberapa mudah atau seberapa sulitkah kita mampu mengikis rasa benci kepada orang lain ?

jawabannya adalah Anda-lah yang menciptakannya realita untuk Anda sendiri. Mengapa demikian, karena membenci atau mencintai, menangis atau merasakan kebahagiaan, kecewa atau gembira, iri atau ikut gembira, semuanya kita-lah yang MEMUTUSKAN dan MEMILIH. Termasuk apakah kita menginginkan kedamaian hati bersemayam dalam hati. Sulit atau mudah, kita-lah yang menentukan itu dalam PIKIRAN kita.

Untuk memperoleh kedamaian hati yang kita dambakan sebenarnya adalah cukup sederhana. Dengan perlahan mengikis rasa benci kepada oranglah sebagai alat pengasah yang ampuh membuat kerasnya bebatuan hati menjadi pualam bersinar. Mengapa kita begitu sulit mengasah bebatuan besar bernama kebencian yang bersemayam hati ? Singkat saja jawabannya, karena kita masih banyak yang terjebak untuk terus mengingat kepada siapa kebencian tersebut kita arahkan.

Cobalah kita kenali hanyalah suatu cara untuk tujuan perlindungan. Adakalanya kita merasa terancam oleh faktor dari luar diri seperti pendapat orang  lain, gaya hidup ataupun perilaku mereka terhadap kita. Hal-hal seperti itu bisa saja mengusik sifat keakuan, harga diri, tubuh, atau pikiran kita, sehingga timbullah kemarahan dan rasa benci dalam diri kita.

Dengan demikian, bagaimana mungkin kita berusaha membuang mengikis gumpalan-gumpalan rasa benci dalam diri tetapi di sisi lain kita ingatan akan orang yang kita benci masih begitu membatu menelungkupi hati kita. Kebencian sendiripun tidak memiliki kekuatan sampai ia menemukan sasaran kemana kebencian mendapatkan tempat untuk berlabuh. Jadi tak salah saya mengungkapkan pepatah, tiada api yang  membesar bila tak ada kayu / dedaunan kecil yang menyertai kehadirannya.

Kebencian akan memperkecil ruang kedamaian dalam lubuk hati. Kebencian menghitamkan warna asli darah kita yang secara sadar menghanguskan binar-binar keceriaan wajah. Cobalah untuk membuat jarak antara diri kita, orang lain sebagai obyek kebencian dan tentunya rasa kebencian itu sendiri. Membiarkan kebencian di hati artinya membiarkan darah kita semakin menghitam legam dan perlahan menggangu keseimbangan seluruh angota tubuh bekerja dengan baik dan saling bekerja sama. Membiarkan kebencian begitu dalam dan lama membuat semangat hidup menjadi perlahan menuruni sampai anak tangga yang paling dasar, karena seringkali pula membuat kita tidak bisa berpikir dengan akal sehat.

Kita memiliki kekuatan penuh atas diri kita sendiri, pilihan untuk benci atau tidak, menjadikan orang lain sebagai obyek kebencian atau tidak, membiarkan kebencian akan semakin mengakar di kedalaman hati, membiarkan jiwa diliputi keresahan yang tak berkesudahan akibat obyek kebencian tak hilang dari pikiran atau apapun seratus persen pilihan adalah mutlak kita yang menentukan.

Siramlah api kebencian dalam diri sebelum menjadi besar dan berujung dengan penyesalan yang tak ingin kita terima. Kebencian tak perlu kita lawan ataupun kita perangi, cukuplah ia dipahami saja hingga kita akan pergi berlalu dengan dengan sendirinya. Karena memang kebencian hanya akan menghanguskan aliran darah di tubuh kita hingga menjadi pekat warnanya dan mempersempit jalan pikiran positif menelusuri rongga-rongga pikiran di kepala. Membiarkan kebencian dalam dekapan atau mengikhlasnya pergi, itu sebuah PILIHAN, bukan!

---
Jika artikel ini bermanfaat, bagikan kepada teman-teman. Mari kita berbagi kebaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar